Kebahagiaan dan Produktivitas
Apakah kebahagiaan berpengaruh terhadap produktivitas? Banyak penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan karyawan memang meningkatkan produktivitas kerja. Namun ada sebagian yang menganggap bahwa tidak relevan lagi mengaitkan isu tersebut. Bagaimana menyikapinya ikuti tulisan berikut.
Sebuah studi yang dilakukan para ekonom di University of Warwick baru-baru ini menemukan bahwa kebahagiaan menghasilkan kenaikan produktivitas sebesar 12%. Sedangkan pekerja yang tidak bahagia terbukti 10% kurang produktif. Tim peneliti mengatakan, “Kami menemukan bahwa kebahagiaan manusia memiliki efek kausalitas yang besar dan positif terhadap produktivitas. Emosi positif dapat meningkatkan semangat kerja.
Data lain menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia, 10 kali lebih sedikit sakit daripada karyawan yang tidak bahagia. Sedangkan para sales yang bahagia menghasilkan penjualan 37% lebih besar.
Meskipun banyak studi yang menunjukkan hubungan erat antara kebahagiaan dan produktivitas, ada juga yang mengatakan bahwa kebahagian saat ini tidak relevan lagi dikaitkan dengan produktivitas. Sebagaimana kita ketahui saat ini berkembang pesat penggunaan kecerdesan buatan (Artificial Intelligence). Sebuah kecerdasan buatan yang dulu hayalan dan hanya ada dalam science fiction, kini sudah terimplementasi dan dekat dengan kehidupan kita saat ini. Contoh AI yang sudah banyak digunakan adalah Google AI, Siri, Baidu atau Bing. Perkembangan AI sangat cepat sehingga mereka dapat melakukan berbagai hal, seperti menjadi asisten virtual, mengerjakan ujian, hingga menjalankan permainan strategi seperti catur.
Paul Daugherty, Chief Technology and Innovation officer di Accenture, meneliti penggunaan AI terhadap 16 industri yang berbeda. Dampak pada ritel dan kesehatan masing-masing 59% dan 55%. Sedangkan untuk layanan keuangan dan komunikasi masing-masing 31% dan 17%.
Implikasinya, jika pekerjaan manusia sudah bisa digantikan mesin atau robot, berarti isu produktvitas tidak relevan lagi. Produktivitas pada karyawan bukan lagi menjadi indikator untuk dinilai tinggi rendah, bahagia atau tidak karyawan menjadi seakan tidak penting. Sebuah mesin jika sudah dikalibrasi, maka akan mendapatkan hasil mendekati sempurna. Sedangkan manusia meski sudah ditraining, dimotivasi, difasilitasi, dinaikan gajinya, tetap saja seperti cuaca kadang cerah, panas, ataupun hujan, kondisinya tak menentu dan sulit diprediksi.
Namun meski dalam beberapa hal AI memiliki kelebihan, manusia tetap memiliki banyak keunggulan yang dapat mendongkrak produktivitas yang tidak dimiliki oleh komputer tercanggih sekalipun. Setidaknya ada tiga aspek penting yang hanya dimiliki manusia yang diyakini para ahli akan dapat melejitkan produktivitas. Ketiga hal tersebut yaitu: passion, creativity dan collaboration
Shakun Khanna ahli Human Capital Management dan menjabat sebagai Senior Director Asia Pasifik pada Oracle Corporation, seseorang yang sangat meyakini pentingnya Passion dalam dunia kerja. Dalam artikelnya berjudul “Leveraging Passion at Work” ia mengatakan, “Bagi sebuah organisasi, memiliki banyak karyawan yang bahagia dan bergairah dalam pekerjaannya sangat penting. Karyawan yang memiliki energi positif yang besar adalah orang-orang yang fokus dan tidak pernah ragu untuk bekerja ekstra.”
Kedua, hal yang dimiliki manusia dan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan adalah Creativity. Banyak yang membahas pentingnya kreativitas dalam mempertahankan persaingan bisnis yang makin ketat.
Boland T. Jones adalah pendiri, chairman dan CEO PGi, perusahaan yang mengadakan pertemuan virtual seluruh dunia. Ia merumuskan lima manfaat kreativitas:
- Kreativitas akan mendorong karyawan untuk bekerja tanpa batas.
- Membuat karyawan mampu menangani masalah yang lebih besar.
- Membina kreativitas menunjukkan kepada karyawan bahwa mereka dapat mengubah tempat kerja mereka.
- Membuat orang bekerja dengan melibatkan emosional. Bekerja tanpa gairah akan menyebabkan membosankan.
- Kreativitas menghilangkan rasa takut akan kegagalan.
Yang ketiga adalah Collaboration. Hanya manusia yang bisa berkolaborasi, sedangkan mesin atau robot tentu tidak mampu melakukannya. Kolaborasi bukan hanya membuat tujuan organisasi menjadi lebih efektif dan efisien untuk diraih namun juga meningkatkan semangat pada karyawan.
Studi baru oleh para periset dari Stanford University menemukan bahwa karyawan lebih produktif saat mereka merasa bekerja sama dalam tugas tertentu. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Experimental Psychology ini mengungkapkan bahwa walaupun seseorang bekerja sendiri, dengan hanya sedikit persepsi bahwa mereka bekerja secara kolektif, meningkatkan produktivitas dan motivasi.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya dengan merasa berada dalam tim, membuat seseorang lebih termotivasi saat menghadapi tantangan,” ujar Gregory Walton, salah seorang peneliti.
Oleh karena itu di dalam sebuah tim, seseorang tidak boleh merasa superior dari yang lain. Siapa pun tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya dalam sebuah organisasi seorang diri.
Melihat pentingya passion, collaboration, dan creativity terhadap produktivitas; tentu saja kebahagaian masih relevan untuk dijaga dan dibangun dalam sebuah lingkungan pekerjaan.
Tiga keunggulan manusia yang dapat mendongkrak produktivitas tadi yaitu passion, creativity dan collaboration, ternyata juga merupakan faktor manusiawi yang menghasilkan kebahagiaan dalam bekerja dan membuat seseorang memiliki komitmen kerja yang tinggi (engage) di perusahaannya. Hal ini sejalan dengan hasil riset yang dipublikasikan dalam Konferensi pada tahun 2016 di Finlandia, yang membahas tentang Leading Passion ; Motivation and Work in Post Industrial Era.
Lalu bagaimana implementasi untuk menjaga kebahagian terbangun dalam lingkungan bekerja. Hal yang sering terjadi adalah konflik baik antar karyawan maupun antara atasan dan karyawan.
Terkadang pemicunya adalah hal sepele. Mungkin tanpa sengaja saat diskusi dengan teman kerja, keluar statement yang menyebabkan perasaan tersinggung atau sakit hati.
Satement negatif ataupun canda yang dianggap sepele, belum tentu bagi orang yang diajak bicara. Seseorang yang datang ke kantor dengan membawa masalah dari rumah, bisa jadi dengan statement tadi memicu kemarahan, sehingga menurunkan semangat kerja.
Hal yang sering terjadi juga saat terjadi interaksi antara atasan dan bawahan. Dimana saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini Gen Y/ Milenial yang ada didalam organisasi sudah berada dalam hitungan 30% dari tenaga kerja yang ada. Dalam hal karir mereka tahu apa yang mereka inginkan, mereka sangat optimis dengan masa depannya, mereka percaya bahwa mereka dapat mencapainya dan mereka secara aktif merencanakan untuk melakukan hal ini, untuk itu perlu dipahami bagaimana Gen Y/Milenial mengatur pemikiran, persepsi dan perasaannya dan bagaimana mereka berhubungan dengan kebahagiaan.
Jika Gen Y/Milenial melihat tidak adanya jalur karir, pressure, atasan mengeluarkan perintah dengan bahasa yang kurang bisa diterima dan tidak bisa menjadi role model, maka dapat mengakibatkan mereka memilih untuk berhenti.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama untuk menciptakan atmosfir kebahagiaan di tempat kerja. Kebahagiaan berpengaruh bukan saja bagi produktivitas individu namun juga kinerja korporasi secara keseluruhan sehingga keberlangsungan perusahaan dapat terjaga bahkan diharapkan terus mengalami peningkatan.